Rabu, 20 Mei 2015

Hukum Penundaan Pembayaran Maskawin dan Pelunasannya



      1.    Menunda Pembayaran Maskawin
Mengenai penundaan maskawin, segolongan fuqoha tidak membolehkan sama sekali.
Fuqaha yang lain membolehkannya, tetapi dengan menganjurkan pembayarannya sebagian manakala hendak menggauli. Pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan maskawin, ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas dan jelas. Ini adalah pendapat Malik. Dan ada pula yang membolehkannya karena kematian atau perceraian. Ini adalah Auza’i.
Silang pendapat ini disebabkan, apakah perkawinan ini dapat disamakan dengan jual beli dalam penundaan pembayaran atau tidak?
Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa
penundaan tersebut tidak boleh sampai kematian atau perceraian.
Sedang bagi fuqaha yang mengatakan tidak dapat disamakan dengannya membolehkan penundaan.
Bagi fuqaha yang tidak membolehkan penundaan, alasannya karena perkawinan itu adalah ibadah.
2. Melunasi Maskawin
Ulama sependapat bahwa melunasi maskawin itu selengkapnya menjadi wajib dengan terjadinya pergaulan (dukhul) atau kematian.
Tentang wajaib melunasi maskawin karena senggama (dukhul) adalah firman Allah:
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (An-Nisa’: 20)
[280] Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
Sedang mengenai kewajiban melunasi maskawin karena kematian, saya tidak mengetahui dalil tekstualnya. Tetapi ketentuan itu sudah menjadi consensus (ijma’) ulama.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat, apakah persenggamaan dan bersentuhan itu menjadi syarat kewajiban melunasi maskawin, ataukah tidak menjadi syarat? Atau kewajiban melunasi dengan dukhul itu terkait dengan khalwat (bersepi-sepi) atau dengan kata-kata “penutupan tabir”?
Malik, Syafi’i, dan dawud berpendapat bahwa penutupan tabir itu sudah mewajibkan separuh harga maskawin selama tidak terjadi senggama.
            Sedang Abu Hanifah berpendapat penutupan tabir itu sudah mewajibkan pelunasan maskawin. Kecuali jika suami sedang berihram, sakit, puasa ramadhan, atau istri sedang haid.
            Ibnu Abi Laila berpendapat senggama (dukhul) itu mewajibkan pelunasan maskawin tanpa syarat apapun.
            Silang pendapat ini disebabkan adanya pertentangan antara keputusan para sahabat berkenaan dengan masalah tersebut dengan lahir kata-kata al-Qur’an. Demikian itu karena Allah telah menegaskan bahwa maskawin yang telah diberikan kepada istri dan telah digauli (dukhul) tidak boleh diambil kembali sedikitpun. Yakni firman Allah:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. ( An-Nisa’: 21)
            Dan terhadap istri yang diceraikan sebelum terjadinya senggama, Allah menegaskan, ia berhak menerima separuh maskawin, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
  237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu…….. (Al-Baqarah 237).
Dua ayat al-Qur’an ini seperti yang anda baca menetapkan ketentuan masing-masing dari kedua keadaan, yaitu keadaan sebelum dan sesudah senggama (dukhul), dan tidak ada ketentuan pertengahan antara keduanya. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa kewajiban pelunasan maskawin terkait dengan terjadinya persentuhan (masis). Dan yang dimaksud dengan persentuhan (masis) adalah persetubuhan.
Tetapi kata persentuhan (masis) tersebut mungkin diartikan sesuai makna aslinya menurut bahasa, “menyentuh”. Barangkali inilah yang menjadi dasar penakwilan paraa sahabat. Itu sebabnya orang impoten walaupun tidak ada harapan sembuh tetap wajib melunasi maskawin kepada istrinya apabila terjadi perceraian. Karena ia sudah bergaul dengan istrinya dalam waktu yang cukup lama. Dengan demikian, Malik menjadikan pergaulan tanpa persetubuhan iru berpegaruh mewajibkan melunasi maskawin.
Tentang ketentuan para sahabat berkenaan dengan masalah itu ialah, bahwa barangsiapa menutup pintu atau menutup tabir, maka ia wajib membayar maskawin. Tentang hal itu tidak ada perselisihan dikalangan mereka.
Dari persoalan ini, para fuqaha berselisih pendapat tentang persoalan cabang, yaitu apabila  terjadi perselisihan antara suami dan istri tentang adanya persentuhan (masis). Yakni bagi fuqaha yang mensyaratkan adanya persentuhan (masis). Seperti jika istri mengaku telah terjadi persentuhan, sedang suami tidak mengakuinya.
Menurut pendapat yang terkenal dari Malik, yng dipegangi ialah perkataan istri.
Menurut satu pendapat, jika suami masuk kerumah istri untuk menggaulinya, maka perkataan istrinya dapat diterima. Sedang apabila masuknya suami kerumah istri tersebut dengan maksud menengok, maka perkataan istri tidak dapat diterima.
Menurut pendapat yang lain lagi, jika istri masih gadis, maka persoalanya dilimpahkan kepada kaum wanita untuk menyelidikinya.
Dengan demikian dalam mazhab Maliki terdapat tiga pendapat. Sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan fuqaha Zhahiri, yang dipegangi adalah perkataan suami, karena dalam hal ini ia menjadi pihak tergugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Senyum Pagi | Blogger Template by Enny Law