Mengenai penundaan maskawin, segolongan fuqoha
tidak membolehkan sama sekali.
Fuqaha yang lain membolehkannya, tetapi
dengan menganjurkan pembayarannya sebagian manakala hendak menggauli. Pendapat
ini dikemukakan oleh imam Malik.
Dan diantara fuqaha yang membolehkan
penundaan maskawin, ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas
dan jelas. Ini adalah pendapat Malik. Dan ada pula yang membolehkannya karena
kematian atau perceraian. Ini adalah Auza’i.
Silang pendapat ini disebabkan, apakah
perkawinan ini dapat disamakan dengan jual beli dalam penundaan pembayaran atau
tidak?
Bagi fuqaha yang mengatakan dapat
disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa
penundaan tersebut tidak boleh sampai kematian atau perceraian.
penundaan tersebut tidak boleh sampai kematian atau perceraian.
Sedang bagi fuqaha yang mengatakan tidak
dapat disamakan dengannya membolehkan penundaan.
Bagi fuqaha yang tidak membolehkan
penundaan, alasannya karena perkawinan itu adalah ibadah.
2. Melunasi Maskawin
Ulama sependapat bahwa melunasi maskawin
itu selengkapnya menjadi wajib dengan terjadinya pergaulan (dukhul) atau kematian.
Tentang wajaib melunasi maskawin karena
senggama (dukhul) adalah firman Allah:
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ? (An-Nisa’: 20)
[280] Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang
tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan
isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali
pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
Sedang mengenai kewajiban melunasi
maskawin karena kematian, saya tidak mengetahui dalil tekstualnya. Tetapi
ketentuan itu sudah menjadi consensus (ijma’) ulama.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat,
apakah persenggamaan dan bersentuhan itu menjadi syarat kewajiban melunasi
maskawin, ataukah tidak menjadi syarat? Atau kewajiban melunasi dengan dukhul
itu terkait dengan khalwat (bersepi-sepi) atau dengan kata-kata “penutupan tabir”?
Malik, Syafi’i, dan dawud berpendapat
bahwa penutupan tabir itu sudah mewajibkan separuh harga maskawin selama tidak
terjadi senggama.
Sedang
Abu Hanifah berpendapat penutupan tabir itu sudah mewajibkan pelunasan
maskawin. Kecuali jika suami sedang berihram, sakit, puasa ramadhan, atau istri
sedang haid.
Ibnu
Abi Laila berpendapat senggama (dukhul) itu mewajibkan pelunasan maskawin tanpa
syarat apapun.
Silang
pendapat ini disebabkan adanya pertentangan antara keputusan para sahabat
berkenaan dengan masalah tersebut dengan lahir kata-kata al-Qur’an. Demikian
itu karena Allah telah menegaskan bahwa maskawin yang telah diberikan kepada
istri dan telah digauli (dukhul) tidak boleh diambil kembali sedikitpun. Yakni
firman Allah:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. ( An-Nisa’: 21)
Dan
terhadap istri yang diceraikan sebelum terjadinya senggama, Allah menegaskan,
ia berhak menerima separuh maskawin, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
237.
jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu…….. (Al-Baqarah 237).
Dua ayat al-Qur’an ini seperti yang anda baca
menetapkan ketentuan masing-masing dari kedua keadaan, yaitu keadaan sebelum
dan sesudah senggama (dukhul), dan tidak ada ketentuan pertengahan antara
keduanya. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa kewajiban pelunasan maskawin
terkait dengan terjadinya persentuhan (masis). Dan yang dimaksud dengan
persentuhan (masis) adalah persetubuhan.
Tetapi kata persentuhan (masis) tersebut
mungkin diartikan sesuai makna aslinya menurut bahasa, “menyentuh”. Barangkali
inilah yang menjadi dasar penakwilan paraa sahabat. Itu sebabnya orang impoten
walaupun tidak ada harapan sembuh tetap wajib melunasi maskawin kepada istrinya
apabila terjadi perceraian. Karena ia sudah bergaul dengan istrinya dalam waktu
yang cukup lama. Dengan demikian, Malik menjadikan pergaulan tanpa persetubuhan
iru berpegaruh mewajibkan melunasi maskawin.
Tentang ketentuan para sahabat berkenaan
dengan masalah itu ialah, bahwa barangsiapa menutup pintu atau menutup tabir,
maka ia wajib membayar maskawin. Tentang hal itu tidak ada perselisihan
dikalangan mereka.
Dari persoalan ini, para fuqaha
berselisih pendapat tentang persoalan cabang, yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri
tentang adanya persentuhan (masis). Yakni bagi fuqaha yang mensyaratkan adanya
persentuhan (masis). Seperti jika istri mengaku telah terjadi persentuhan,
sedang suami tidak mengakuinya.
Menurut pendapat yang terkenal dari
Malik, yng dipegangi ialah perkataan istri.
Menurut satu pendapat, jika suami masuk
kerumah istri untuk menggaulinya, maka perkataan istrinya dapat diterima.
Sedang apabila masuknya suami kerumah istri tersebut dengan maksud menengok,
maka perkataan istri tidak dapat diterima.
Menurut pendapat yang lain lagi, jika
istri masih gadis, maka persoalanya dilimpahkan kepada kaum wanita untuk
menyelidikinya.
Dengan demikian dalam mazhab Maliki
terdapat tiga pendapat. Sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan fuqaha Zhahiri, yang
dipegangi adalah perkataan suami, karena dalam hal ini ia menjadi pihak
tergugat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar